Minggu, 28 September 2025 – Sarasehan Nasional Gema Perdamaian XXIII berlangsung secara daring dengan diikuti oleh lebih dari seratus peserta dari berbagai latar belakang. Acara ini menjadi wadah penting untuk menggali makna kedamaian dari sudut pandang spiritual dan budaya Nusantara, sekaligus membangun pondasi harmoni di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks.
Salah satu narasumber utama, Sri Eko Sriyanto Galgendu, mengajak peserta untuk menyuarakan damai dengan kekuatan jiwa yang tulus, menggugah nurani, dan kembali kepada kearifan lokal Nusantara. Dalam paparan inspiratifnya, Eko Sriyanto mengutip Bung Karno yang menyebut Nusantara sebagai mercu suar di tengah gelapnya dunia, namun ia menegaskan bahwa Indonesia berpotensi menjadi “jalan terang” berkat keberagamannya yang harmonis antara agama dan keyakinan.
Acara yang dipandu oleh Made Perwira Duta ini juga menghadirkan tokoh-tokoh penting seperti Prof. Sudeng Tjahjono, Mujiardi Santoso, dan Didi Janaki Padmanabhan, yang masing-masing membagikan wawasan mendalam tentang kedamaian dari perspektif agama, moral, dan meditasi. Mujiardi Santoso, Chapter President Barito 2025-2026, menekankan pentingnya damai internal, damai dengan Tuhan, dan damai dengan sesama sebagai fondasi harmoni sosial. Ia mengutip ayat Injil yang mengingatkan bahwa damai sejati berbeda dari kedamaian duniawi.
Sementara itu, Didi Janaki Padmanabhan yang telah berpengalaman mengajar meditasi selama empat dekade di berbagai negara, mengajak semua untuk memulai kedamaian dari dalam diri melalui cinta kasih dan meditasi, yang ia sebut sebagai “perisai diri dan lingkungan.” Ia juga mengingatkan pentingnya pengendalian akses media sosial agar generasi muda tidak terpengaruh paham radikal yang bisa merusak nilai-nilai kedamaian.
Prof. Sugeng Tjahjono menambahkan bahwa ikhlas menerima perbedaan dan reaksi orang lain adalah kunci penting dalam menjaga kedamaian. Ia mengingatkan pentingnya pendidikan moral dan karakter sebagai antisipasi radikalisme yang mengancam generasi muda, mengutip pepatah bijak, “Setinggi-tingginya ilmu, masih lebih tinggi adab.”
Diskusi semakin kaya dengan pandangan akademisi UHN IGB Sugriwa Denpasar, Dr. I Gede Suwantana, yang menyatakan bahwa kedamaian bukan sekadar kondisi eksternal, melainkan konsekuensi alami pikiran yang bersih dari ketakutan dan keinginan berlebihan.
Dari Bali, aktivis Gema Perdamaian Gede Ricky Sukarta mengirimkan pesan kuat tentang pentingnya menjaga persatuan dan menghindari penyalahgunaan agama untuk memecah belah masyarakat. Ia menyerukan agar kita semua menjaga ketulusan, kesabaran, dan kebenaran demi harmoni dunia.
Prof. Ir. A.A. Putu Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc. Ph.D sebagai Ketua Steering Committee, menutup acara dengan harapan agar Sarasehan Nasional ini menjadi cahaya pencerahan di tengah banjir informasi yang kerap memicu ketidakpastian. Ia mengajak masyarakat lebih bijak dalam menyikapi informasi, khususnya di media sosial.
Pesan utama Sarasehan ini adalah: Kedamaian bukan hanya penyembuhan, tetapi juga kekuatan yang menyatukan, memaafkan, dan membantu menemukan jati diri. Di tengah kekacauan dunia, kita tetap bisa menemukan ketenangan dan keharmonisan melalui kedamaian yang bersumber dari dalam diri dan budaya Nusantara.